Situs Liyangan ditemukan pada tahun 2008 yang berupa candi ukuran kecil dan hingga kini di kawasan penambangan pasir di lereng Gunung Sindoro itu masih ditemukan benda-benda bersejarah lain.Situs Liyangan berada di atas permukiman warga Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, berjarak sekitar 20 kilometer arah barat laut dari kota Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Untuk mengungkap keberadaan situs tersebut pada 14-20 April 2009 tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian terhadap benda-benda temuan yang terkubur pasir dengan kedalaman sekitar tujuh hingga 10 meter tersebut. Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga, Kabupaten Temanggung, Subekti Prijono, menyatakan, berdasarkan hasil penelitian tim Balai Arkeologi Yogyakarta, diperkirakan situs tersebut merupakan sebuah permukiman pada zaman Mataram Kuno.
Situs ini mempunyai keunikan yaitu memiliki yoni dengan 3 lingga (lingga yoni model poliandri). Keunikan ini jarang ditemui di Indonesia. Situs liyangannya sendiri berada di kedalaman 2 meteran dibawah tanah, kemungkinan di temukan penampang pasir yang hendak mengambil batu..Diperkirakan situs tersebut sebuah perdusunan karena di antara benda temuan terdapat sisa-sisa rumah berbahan kayu dan bambu. Subekti menyebutkan, di kawasan dengan ketinggian sekitar 1.400 di atas permukaan air laut tersebut pertama kali ditemukan sebuah talud, yoni, arca, dan batu-batu candi. Penemuan selanjutnya berupa sebuah bangunan candi yang tinggal bagian kaki dan di atasnya terdapat sebuah yoni yang unik, tidak seperti umumnya, karena yoni ini memiliki tiga lubang.
Temuan terakhir yang cukup spektakuler pada akhir Maret 2010 berupa rumah panggung dari kayu yang hangus terbakar dan masih tampak berdiri tegak. Satu unit rumah tersebut berdiri di atas talud dari batu putih setinggi 2,5 meter. Selain itu juga ditemukan satu unit rumah kayu lain yang saat ini baru tampak pada bagian atapnya.
Ia menjelaskan, tim Balai Arkeologi memperkirakan kedua unit rumah itu merupakan bangunan rumah masa Mataram Kuno. Hal ini berdasarkan pada lokasi yang dekat dengan temuan candi Hindu yang berada di sebelah barat pada jarak sekitar 50 meter. Ditemukannya profil klasik Jawa Tengah pada kaki candi diperkirakan candi ini berasal dari abad sembilan Masehi. Diperkirakan bangunan rumah tersebut berada dalam satu kompleks dengan candi dan kemungkinan merupakan satu zaman.
Secara umum, potensi data arkeologi situs Liyangan tergolong tinggi berdasarkan indikasi, antara lain luas situs dan keragaman data berupa bangunan talud, candi, bekas rumah kayu dan bambu, strutur bangunan batu, lampu dari bahan tanah liat, dan tembikar berbagai bentuk. Selain itu, juga diperoleh informasi berupa struktur bangunan batu, temuan tulang dan gigi hewan, dan padi.
Berdasar gambaran hasil survei penjajakan Balai Arkeologi menyimpulkan, Situs Liyangan merupakan situs dengan karakter kompleks. Indikasi sebagai situs permukiman, situs ritual, dan situs "pertanian". Kompleksitas karakter tersebut membawa pada pemikiran, situs Liyangan adalah bekas perdusunan yang pernah berkembang pada masa Mataram Kuno.Ragam data dan karakter ini tergolong istimewa mengingat temuan ini satu-satunya situs yang mengandung data arkeologi berupa sisa rumah masa Mataram Kuno.
Batasan imajiner situs Liyangan berdasarkan survei diperkirakan tidak kurang dari dua hektar. Di area tersebut tersebar data arkeologi yang menunjukkan sebagai situs perdusunan masa Mataram Kuno.Mengingat sebagian situs terkubur lahar, sangat mungkin luasan situs lebih dari hasil survei.
Hasil penelitian tim Balai Arkeologi menyimpulkan, data arkeologi berupa sisa-sisa rumah berbahan kayu dan bambu merupakan situs perdusunan masa Mataram Kuno sekitar 1.000 tahun lalu. Data tersebut merupakan satu-satunya yang pernah ditemukan di Indonesia sehingga memiliki arti sangat penting bukan hanya bagi pengembangan kebudayaan di Indonesia, tetapi juga dalam skala internasional.Untuk itu perlu dilakukan upaya penyelamatan guna penelitian dunia ilmiah.
Bekti Prijono juga menambahkan, situs tersebut berada di lahan milik penduduk dan dimanfaatkan untuk diambil pasirnya, dikhawatirkan situs akan rusak jika tidak dilakukan upaya penyelamatan. Atas kondisi ini, Subekti mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya tanah itu masih milik warga. Aktivitas penggalian itu dikhawatirkan dapat merusak situs purbakala yang ada. Untuk membebaskan tanah pemerintah setempat perlu dana dan baru akan dibicarakan dengan DPRD untuk diusulkan dalam APBD.